Kamis, 16 Juli 2020

MATERI : IBADAH 2 : Pernikahan Dalam Islam (Munakahat )


Munakahat ( Pernikahan dalam Islam )
 A.     Pengertian Munakahat
Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar pernikahan adalah nikah. Menurut bahasa Indonesia, nikah artinya bersatu atau berkumpul. Dalam istilah syariat, nikah artinya melakukan akad nikah atau perjanjian untuk mengikat diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan,serta menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka sama suka demi terwujudnya rumah tangga yang bahagia, yang diridoi oleh Allah SWT.
 B.     Dalil Nikah
Allah menciptakan makhluk dalam bentuk berpasang-pasangan.
Firman Allah SWT:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.(Q.S. Az-Zariyat (41) : 49)
Secara khusus pasangan itu disebut alko-laki dan perempuan.
Firman Allah SWT: “Dan bahwasannya Dialah yang menciptakan nerpasan-pasangan laki-laki dan perempuan. (Q.S. An-Najm (53) :45)
Laki-laki dan perempuan berhubungan dan saling melengkapi dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak.
Firman Allah: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu;dan daripadanya Allah menciptakan istrinya;dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”(Q.S. An-Nisa (4) : 1)
Perkawinan dijadikan sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran Allah.
Firman Allah: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesunggunya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”(Q.S. Ar-Rum (30) : 21)
 C.     Tujuan Munakahat
1.      Untuk mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya
2.      Untuk memperoleh hidup yang tentram dan bahagia (sakinah, mawadah, dan warohmah)
3.      Untuk  keselamatan diri sendiri, keluarga, keturunan, dan masyarakat.
4.      Untuk memelihara kebinasaan hawa nafsu.
5.      Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih sayang.
6.      Untuk memenuhi kebutuhan seksual secara sah dan diridoi Allah SWT.

 D.     Hukum Munakahat
Perkawinan adalah ibadah yang dianjurkan Allah SWT dan Nabi Muhammad saw. Banyak perintah Allah dalam Al-quran agar melaksanakan perkawinan.Firman Allah SWT: “Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yanglayak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui.(Q.S. An-Nur (24) : 32)
Ditinjau dari segi kondisi orang yang akan menikah, hukum nikah sebagai berikut:
1.      Sunnah, artiya bagi orang yang ingi menikah, mampu nikah, mampu mengendalikan diri dari perzinahan, tetapi tidak ingin menikah.
2.      Wajib, artinya bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zinah jika tidak segera menikah.
3.      Makruh, artinya bagi orang yang ingin menikah, tetapi belum mampu memberi nafkah terhadap istri dan anak-anaknya.
4.      Haram, artinya bagi orang yang ingin menikah, tujuannya yang hanya menyakiti istrinya.
 E.     Rukun Munakahat
Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab dan kabul.
1.      Ada calon suami, syarat: laki-laki, dewasa, islam, kemauan sendiri, tidak sedang ihram, haji atau umroh, dan bukan muhrimnya.
2.      Ada calon istri, syarat: perempuan, cukup umur (16 tahun), bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan pernikahan dengan orang lain, bukan muhrim, dan tidak ihram haji atau umroh.
3.      Ada wali nikah: Wali nikah adalah orang yang mengijinkan pernikahan.
Macam-macam wali nikah dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Wali nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan. Adapun urut-urutan wali nasab sebagai berikut.
1)      Ayah kandung
2)      Kakek(ayah dari ayah)
3)      Saudara laki-laki sekandung.
4)      Saudara laki-laki seayah.
5)      Saudara laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah.
2.      Wali hakim, yaitu kepala Negara yang beragama islam, menteri agama, kepala KUA. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila:
 Wali nasab benar-benar tidak ada, sedang ihram, haji atau umroh, menolak sebagai wali, masuk penjara dan hilang.
Wali yang lebih dekat tidak memenuhi syarat, berpergian jauh, tidak memberi kuasa terhadap wali nasab, dan wali yang lebih jauh tidak ada.
1)      Ada saksi, syarat: islam,laki-laki, dewasa, berakal sehat, dapat berbicara,  mendengar, dan melihat, adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah.
2)      Ada kata-kata ijab dan qabul.
Ijab, artinya ucapan wali dari pihak mempelai wanita, sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Qabul, artinya ucapan mempelai laki-laki sebagai tanda penerimaan. Alam ijab qabul,suami wajib member mahar(mas kawin).
 F.      Syarat-syarat Munakahat
Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah :
·         Persetujuan kedua belah pihak,
·         Mahar (mas kawin),
·         Tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan. Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum.
Muhrim
Menurut bahasa, muhrim artinya diharamkan. Dalam ilmu fikih, muhrim artinya wanita yang haram dinikahi. Sebab-sebab wanita haram dinikahi, karena:
             Keturunan
·         Ibu kandung
·         Anak kandung
·         Saudara perempuan dari bapak
·         Saudara perempuan dari saudara laki-laki.
·         Saudara perempuan dari saudara perempuan.
·         Hubungan sesusuan
·         Ibu yang menyusui
·         Saudara perempuan sesusuan
·         Perkawinan
·         Ibu dari istri (mertua)
·         Anak tiri
·         Ibu tiri (istri dari ayah). Allah berfirman yang artinya: dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang pernah dikawini ayahmu. (QS.An-Nissa:22)
·         Menantu (istri dari anak laki-laki)
·         Mempunyai pertalian muhrim dengan istri.
Mahar dalam pernikahan
Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri. Mahar dan Nilai Nominal.
Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar
adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang
dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi.
Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya. Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi
sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaanatau benda berharga lainnya.
Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon istrinya.
Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata duitan’, banyak wanita muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli dengan permintaan agar suaminya itu mengamalkan Al-Quran. Padahal pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu yang eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru sangat eksak dan bicara tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang bersifat abstrak dan nilai-nilai moral. Justru embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri sendiri.
Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran
sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia
tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan
mengganggu status perkawinannya.

Mahar Dengan Mengajar Al-Quran
Demikian juga bila maharnya adalah mengajarkan Al-Quran kepada istri, tentu harus dibuat batasan bentuk pengajaran yang bagaimana, kurikulumnya apa, berapa kali pertemuan, berapa ayat, pada kitab rujukan apa dan seterusnya. Sebab ketika mahar itu berbentuk emas, selalu disebutkan jumlah nilainya atau beratny, maka ketika mahar itu berbentuk pengajaran Al-Quran, juga harus ditetapkan batasannya.
Kejadian di masa Rasulullah SAW di mana seorang shahabat memberi mahar berupa hafalan Al-Quran, harus dipahami sebagai jasa mengajarkan Al-Quran. Dan mengajarkan Al-Quran itu memang jasa yang lumayan mahal secara nominal. Apalagi kita tahu bahwaistilah ‘mengajarkan Al-Quran’ di masa lalu bukan sebatas agar istri bisa hafal bacaannya belaka, melainkan juga sekaligus dengan makna, tafsir, pemahaman fiqih dan ilmu-ilmu yang terkait dengan masing-masing ayat tersebut.
Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,”Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu”, Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,” Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.” Rasulullah berkata,” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? Dia berkata, “Tidak kecuali hanya sarungku ini” Nabi menjawab,”bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu.” Dia berkata,” aku tidak mendapatkan sesuatupun.” Rasulullah berkata, ” Carilah walau cincin dari besi.” Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi,” Apakah kamu menghafal qur’an?” Dia menjawab,”Ya surat ini dan itu” sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,”Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur’anmu” (HR Bukhori Muslim).
Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda,”Ajarilah dia al-qur’an.” Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.
Permintaan mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal ini pada gilirannya harus dipandang wajar, sebab kebanyakan wanita sekarang seolah tidak terlalu mempedulikan lagi nilai nominal mahar yang akan diterimanya.
Nominal Mahar Dalam Kajian Para Ulama
Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.
Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yangkaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya.
Karena itu, syariah Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk mencicilnya atau mengangsurnya.
Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar tidak ada yang dirugikan. Istri tetap mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal, sedagkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai.
Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam hukum Islam. Ingatkah anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami
mengatakan,”Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas TUNAI!!.” Mengapa ditambahi dengan kata ‘TUNAI’?, sebab suami
menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.
Namun bila dia tidak punya kemampuan untuk membayar tunai, dia boleh mengangsurnya dalam jangka waktu tertentu. Jadi bisa saja bunyi ucapan lafadznya begini: “Saya terima nikahnya dengan maskawin uang senilai 100 juta yang dibayarkan secara cicilan selama 10 tahun.” Bila Terlalu Miskin Dan Sangat Tidak Mampu. Namun ada juga kelas masyarakat yang sangat tidak mampu, miskin dan juga fakir. Di mana untuk sekedar makan sehari-hari pun tidak punya kepastian. Namun dia ingin menikah dan punya istri. Solusinya adalah dia boleh memilih istri yang sekiranya sudah mengerti keadaan ekonominya. Kalau membayar maharnya saja tidak mampu, apalagi bayar nafkah. Logika seperti itu harus sudah dipahami dengan baik oleh siapapun wanita yang akan menjadi istrinya.
Maka Islam membolehkan dia memberi mahar dalam bentuk apapun, dengan nilai serendah mungkin. Misalnya cincin dari besi, sebutir korma, jasa mengajarkanatau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridho dan rela atas mahar itu.
 G.    Kewajiban dan Hak Suami dan Istri
1.                 Kewajiban Suami
·         Memberi nafkah, sandang, pangan, dan tempat tinggal.
·         Berlaku adil, sabar terhadap istri dan anak-anaknya.
·         Memberi penuh perhatian terhadap istri.
·         Hormat dan bersikap baik kapada keluarga istri
2.                    Kewajiban Istri
·         Taat kepada suami sesuai dengan ajaran Islam.
·         Menerima dan menghormati pemberian suami sesuai kemampuannya.
·         Memelihara diri kehormatan dan harta benda suami.
·         Memelihara, mengasuh, mendidik anak-anak agar menjadi saleh/saleha.Membantu suami dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarga.
·         Hormat kepada suami dan keluarganya.
3.              Hak Suami dari Istri
·         Mendapat penghormatan dan kasih sayang.
·         Mendapat pelayanan yang menyenangkan.
·         Mendapat dorongan dan bantuan dari istri.
·         Memperoleh keturunan dari istri.
·         Memperoleh kebahagiaan dari istri.
4.              Hak Istri dari Suami
·         Memperoleh nafkah baik lahir dan batin
·         Memperoleh perlindungan dari suami.
·         Memperoleh ketenangan dan kedamaian dari suami.
·         Memperoleh cinta kasih dan sayang.
·         Memperoleh kehangatan dan kebahagiaan dari suami.
 H. Hikmah Munakahat
Pernikahan merupakan cara yang benar, baik, dan di ridoi Allah SWT untuk memperoleh anak serta mengembangkan keturunan yang sah.
1)      Melalui pernikahan kita dapat menyalurkan naluri kebapakan bagi laki-laki dan naluri keibuan bagi wanita.
2)      Melalui pernikahan, suami istri dapat memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara, mengasuh, dan mendidik anak-anaknya.Melalui pernikahan, suami istri dapat membagi rasa tanggung jawab yang sebelumnya dipikul oleh masing-masing pihak.
3)      Pernikahan dapat pula membentengi diri dari perbuatan tercela.
4)      Pernikahan merupakan sunah Rasulullah saw.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar