MADZHAB DALAM FIKIH ISLAM
A.
Definisi
Madzhab
Madzhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui
pemikiran,penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikanya sebagai
pedoman yang jelas batasan-batasanya, bagian-bagianya, dibangun diatas
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
Dapat ditegaskan bahwa madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang
digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah atau mengistimbathkan
hukum Islam. Lingkup madzhab mencakup; sekumpulan hukum-hukum islam yang digali
seorang imam mujtahid, ushul fiqh yang menjaddi jalan dan menjadi metode
penggalian (thariqah al-istimbath).
Madzhab fikih pada dasarnya sudah ada sejak zaman sahabat, misalnya
madzhab Aisyah ra, Madzhab Ibnu Mas’ud ra, dan Madzhab Ibnu Umar. Masing-masing
memiliki kaidah tersendiri dalam memahami nash al-Quranulkarim dan sunah,
sehingga terkadang pendapat tidak selalu sama.
Diantara madzhab-madzhab yang popular dan memiliki pengaruh yang
luas di kalangan umat islam meliputi 4 (empat) madzhab, yaitu madzhab Hanafi,
Madzhab Maliki, Madzhab Syafii, dan Madzhab Hambali.
B.
Madzhab
Hanafi
1.
Latar
Belakang Kelahiranya
Imam Abu
Hanifah lahir di Kuffah pada tahun 80H/659M, dan meninggal dunia di Baghdad
pada tahun 150 H/ 767 M.
Nama lengkapnya
Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit, ayahnya tsabit berasal dari keturunan Persia.
Gelar abu
hanifah diberikan kepada Nu’man bin Tsabit karena ia seorang yang
sungguh-sungguh dalam beribadah. Kata Hanif dalam bahasa arab berarti “suci”
atau “lurus”. Abu Hanifah adalah imam madzhab hanafi yang terkenal dengan
“al-imamal-a’dzam” yang artinya Imam terbesar. Setelah menjadi ulama mujtahid
kemudian ia pun dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah dan madzhabnya disebut
dengan Madzhab Hanafi.
Abu Hanifah
adalah ulama mujtahid dalam bidang fikih yang menjadi imam madzhab. Abu hanifah
hidup di masa dua khalifah yakni daulah bani Umayyah dan bani Abbassiyah. Ia
adalah tabi’in dan sempat bertemu dengan tujuh sahabat Nabi Saw. Dan
mendengarkan hadits dari mereka, sebagaimana pernah ia tuturkan sendiri.
Ia adalah seorang
pilihan yang telah lulus dalam menempuh berbagai ujian berat, menderita dan
sakit di dalam penjara sampai akhirnya beliau wafat tahun 150 H (576 M) pada
usia 70 tahun, dan pada saat itu lahirlah Imam Syafi’i. sepeninggal beliau pada
tahun 450 H/1066 M didirikan sebuah sekolah bernama jami’ Abu Hanifah.
2.
Pendidikan
dan Guru-gurunya
Abu Hanifah
mulanya gemar belajar ilmu qiraat, hadits, nahwu, sastra, Syi’ir, teologi,
sehingga ia menjadi salah satu tokoh terkenal dalam ilmu tersebut. Karena
ketajaman pemikiranya ia sanggup menangkis serangan golongan khawarij yang
doktrin ajaranya sangat ekstrim.
Minat besar Abu
Hanifah dalam belajar, mengantarkan Imam abu Hanifah menjadi seorang yang ahli
di bidang fikih. Keahlianya diakui oleh ulama semasanya antaralain oleh Imam
Hammad ibn Abi Sulaiman sering mempercayakan tugas kepada Imam Abu Hanifah
untuk memberi fatwa dan pelajaran fikih dihadapan murid-muridnya. Imam Khazaaz
ibn Sarad juga mengakui nbahwa mengakui keunggulan Imam Abu Hanifah dibidang
fikih dari Ulama lainya.
Imam Abu
Hanifah belajar ilmu fikih dari Ibrahim, Umar dan Ali bin Abi Thalib, Abdullah
bin Mas’ud dan Abdullah ibn Abbas. Selain itu beliau juga berguru kepada
ulama-ulama besar lainya.
Di Madinah Imam
Abu Hanifah belajar dengan Ulama terkenal Atha’ ibn Rabbah,
Di Makkah Imam
Abu Hanifah belajar dengan Abdullah ibn Abbas, dia juga sangat beruntung dapat
mempelajari hadits dan beberapa persoalan fikih dari Ali bin Abi Thalib, Abu
Hurairah, Abdullah bin Umar, Aqabah bin Umar, Sofwan,Jabir, dan Abu Qatadah.
3.
Karya-karya
Beliau memiliki
banyak ide dan buah pikiran yang dituangkan dalam karya yang ditulisnya
sendiri, tetapi kebanyakan fatwanya dihimpun dan ditulis oleh murid-muridnya.
Kitab-kitab yang ditulisnya sendiri antara lain:
a.
Al
Faraid yang khusus membicarakan masalah waris dan segala ketentuanya menurut
hukum islam.
b.
Al-syurt
yang membahas perjanjian
c.
Al
fikh al-akhbar yang membahas ilmu kalam atau teologi dan diberi syarah
(penjelasan oleh imam abu Mansur Muhammad al-Marutudi dan Imam Abu Muntaha al
Maula Ahmad ibn Muhammad al-MAqnisawi).
Jumlah kitab yang ditulis muridnya yang dijadikan pegangan pengikut
Mazhab Hanafi.Ulama Mazhab Hanafi membagi kitab-kitab itu menjadi tiga tingkatan.
a.
Tingkat
masa’il Al-Ushul (masalah-masalah pokok) yaitu kitab yang berisi masalah-masalah
yang langsung diriwayatkan dari Imam Hanafi dan sahabat sahabatnya disebut juga
zahir Al-Riwayah yang terdiri dari enam kitab :
1) Kitab Al-Mabsud (buku yang terbentang).
2) Kitab Al-jami’ As-Saghir (Himpunan Riwayat).
3) Kitab Al-Jami’ Al-Kabir (Himpunan Lengkap).
4) Kitab As-Sair Al-Kabir (Sejarah Lengkap).
5) Kitab Az-Ziyyadah (Tambahan)
Pada awal ke-4 Hijriah ke enam buku ini dihimpun dan disusun menjadi
satu oleh Imam Abdul Fadl Muhammad ibn Ahmad al-Marazi dengan nama “Al-Kafi’
(yang memadai) yang kemudian diberi penjelsan oleh Imam Muhammad ibn Muhammad ibn
Sahal as-Sarkhasi dengan nama “Al-Mabsuth” (yang menuai).
b.
Tingkat
Al-Masa’il An-Nawazir (masalah tentang sesuatu yang diberikan sebagai nazar)
yaitu kitab yang berisi masalah-masalah fiqh yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah
dan sahabat-sahabatnya dalam kitab selain zahir ar-riwayah.
c.
Tingkat
al-Fatawa wa al-Waqi’at (fatwa-fatwa dalam permasalahan)yaitu kitab-kitab yang
berisi masalah-masalah fiqh yang berasal dari istinbath (pengambilan hukum dan
penetapannya)
4.
Metode
Istimbath Hukum
Dalam
mengistinbathkan hukum Imam Abu Hanifah dalam suatu permasalahan menggunakan
beberapa cara yang menjadi dasar dalam mazhabnya. Adapun metode yang digunakan
sebagaimana di kutip Hasbiy Ash-Siddieqy adalah Sesungguhnya saya mengambil
kitabullah apabila saya dapatkan, apabila tidak saya dapatkan maka saya
mengambil sunnah Rasullah SAW. Dan atsar-atsar yang sholeh yang tersiar di
kalangan orang-orang yang terpercaya.Apabila saya tidak mendapatkan dalam
kitabullah dan sunnah Rasulullah maka saya mengambil pendapat-pendapat para
sahabat beliau yang saya kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat
mereka. Apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim, Asy-Sya’bi, Hassan, Ibnu
Sirrin, Said ibn Musayyad (beberapa boring yang berijtihad ) maka saya
berijtihad sebagaimana mereka berijtihad).
Abu Hanifah
memegangi riwayat orang-orang yang kepercayaan dan menjauhkan diri dari
keburukan dan memperhatikan muamalat manusia dan adat serta ‘urf mereka itu,
beliau memegangi Qiyas. Kalau tidak baik dalam suatu masalah didasarkan qiyas,
beliau memegangi istihsan selama yang demikian itu dapat dilakukan, kalau tidak
beliau berpegang kepada adat dan ‘urf . Berdasarkan keterangan diatas metode
istimbath hukum Imam Abu Hanifah didasarkan tujuh hal pokok yaitu:
a.
Al
Quran, merupakan pilar utama syariat dan sumber dari segala sumber hukum. b.
Sunnah, Imam Abu Hanifah sangat selektif dalam penerimaan hadis, dia hanya
berpegang kepada keabsahan riwayat. Pada prinsipnya Abu Hanifah tidak menerima
hadis Rasulullah SAW, kecuali jika diriwayatkan oleh sekelompok orang yang
kolektif, atau para ahli fiqh sepakat mengamalkan.
b.
Sunnah,
Imam Abu Hanifah sangat selektif dalam penerimaan hadis, dia hanya berpegang
kepada keabsahan riwayat. Pada prinsipnya Abu Hanifah tidak menerima hadis
Rasulullah SAW, kecuali jika diriwayatkan oleh sekelompok orang yang kolektif,
atau para ahli fiqh sepakat mengamalkan
c.
Perkataan Sahabat Perkataan sahabat memperoleh
posisi kuat dalam pandangan imam Abu Hanifah, karena menurutnya mereka adalah
orang yang langsung membawa ajaran Rasulullah SAW sesudah beliau wafat,
pengetahuan dan pernyataan keagamaan mereka lebih dekat kepada kebenaran,
karena meraka tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat al Quran serta bagaimana
kaitannya dengan hadis-hadis Rasulullah SAW.
d.
Qiyas
Karena Imam Abu
Hanifah sangat selektif dalam penerimaan hadis, maka konsekunsinya logisnya
sangat luas dalam pemakaian qiyas. Apabila suatu persoalan belum ada ketentuan
hukumnya dalam al Quran dan sunnah dan perkataan sahabat, maka imam Abu Hanifah
menggunakan qiyas sebagai salah satu metode penetapan hukum.
e.
Istihsan
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kehujjahan istihsan merupakan dalil syara’.
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik suatu, sedangkan menurut
istilah ulama’ usul ialah berpindahnya seorang mujahid dari tuntutan qiyas jail
(qiyas nyata) kepada qiyas khafi (qiyas samar) atau dari hukum kulli kepada
hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan
memenangkan baginya pemindahan ini.
f.
Urf
iatu adat kebiasaan orang-orang Islam dalam suatu masalah tertentu yang tidak
disebutkan oleh al quran, sunnah Nabi atau belum ada dalam praktek sahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar