Senin, 01 Maret 2021

MATERI: FIKIH (9)

MADZHAB DALAM FIKIH ISLAM

A.    Definisi Madzhab

Madzhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran,penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikanya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasanya, bagian-bagianya, dibangun diatas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.

Dapat ditegaskan bahwa madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah atau mengistimbathkan hukum Islam. Lingkup madzhab mencakup; sekumpulan hukum-hukum islam yang digali seorang imam mujtahid, ushul fiqh yang menjaddi jalan dan menjadi metode penggalian (thariqah al-istimbath).

Madzhab fikih pada dasarnya sudah ada sejak zaman sahabat, misalnya madzhab Aisyah ra, Madzhab Ibnu Mas’ud ra, dan Madzhab Ibnu Umar. Masing-masing memiliki kaidah tersendiri dalam memahami nash al-Quranulkarim dan sunah, sehingga terkadang pendapat tidak selalu sama.

Diantara madzhab-madzhab yang popular dan memiliki pengaruh yang luas di kalangan umat islam meliputi 4 (empat) madzhab, yaitu madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafii, dan Madzhab Hambali.

B.     Madzhab Hanafi

1.      Latar Belakang Kelahiranya

Imam Abu Hanifah lahir di Kuffah pada tahun 80H/659M, dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 150 H/ 767 M.

Nama lengkapnya Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit, ayahnya tsabit berasal dari keturunan Persia.

Gelar abu hanifah diberikan kepada Nu’man bin Tsabit karena ia seorang yang sungguh-sungguh dalam beribadah. Kata Hanif dalam bahasa arab berarti “suci” atau “lurus”. Abu Hanifah adalah imam madzhab hanafi yang terkenal dengan “al-imamal-a’dzam” yang artinya Imam terbesar. Setelah menjadi ulama mujtahid kemudian ia pun dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah dan madzhabnya disebut dengan Madzhab Hanafi.

Abu Hanifah adalah ulama mujtahid dalam bidang fikih yang menjadi imam madzhab. Abu hanifah hidup di masa dua khalifah yakni daulah bani Umayyah dan bani Abbassiyah. Ia adalah tabi’in dan sempat bertemu dengan tujuh sahabat Nabi Saw. Dan mendengarkan hadits dari mereka, sebagaimana pernah ia tuturkan sendiri.

Ia adalah seorang pilihan yang telah lulus dalam menempuh berbagai ujian berat, menderita dan sakit di dalam penjara sampai akhirnya beliau wafat tahun 150 H (576 M) pada usia 70 tahun, dan pada saat itu lahirlah Imam Syafi’i. sepeninggal beliau pada tahun 450 H/1066 M didirikan sebuah sekolah bernama jami’ Abu Hanifah.

2.      Pendidikan dan Guru-gurunya

Abu Hanifah mulanya gemar belajar ilmu qiraat, hadits, nahwu, sastra, Syi’ir, teologi, sehingga ia menjadi salah satu tokoh terkenal dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikiranya ia sanggup menangkis serangan golongan khawarij yang doktrin ajaranya sangat ekstrim.

Minat besar Abu Hanifah dalam belajar, mengantarkan Imam abu Hanifah menjadi seorang yang ahli di bidang fikih. Keahlianya diakui oleh ulama semasanya antaralain oleh Imam Hammad ibn Abi Sulaiman sering mempercayakan tugas kepada Imam Abu Hanifah untuk memberi fatwa dan pelajaran fikih dihadapan murid-muridnya. Imam Khazaaz ibn Sarad juga mengakui nbahwa mengakui keunggulan Imam Abu Hanifah dibidang fikih dari Ulama lainya.

Imam Abu Hanifah belajar ilmu fikih dari Ibrahim, Umar dan Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah ibn Abbas. Selain itu beliau juga berguru kepada ulama-ulama besar lainya.

Di Madinah Imam Abu Hanifah belajar dengan Ulama terkenal Atha’ ibn Rabbah,

Di Makkah Imam Abu Hanifah belajar dengan Abdullah ibn Abbas, dia juga sangat beruntung dapat mempelajari hadits dan beberapa persoalan fikih dari Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Aqabah bin Umar, Sofwan,Jabir, dan Abu Qatadah.

3.      Karya-karya

Beliau memiliki banyak ide dan buah pikiran yang dituangkan dalam karya yang ditulisnya sendiri, tetapi kebanyakan fatwanya dihimpun dan ditulis oleh murid-muridnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sendiri antara lain:

a.       Al Faraid yang khusus membicarakan masalah waris dan segala ketentuanya menurut hukum islam.

b.      Al-syurt yang membahas perjanjian

c.       Al fikh al-akhbar yang membahas ilmu kalam atau teologi dan diberi syarah (penjelasan oleh imam abu Mansur Muhammad al-Marutudi dan Imam Abu Muntaha al Maula Ahmad ibn Muhammad al-MAqnisawi).

Jumlah kitab yang ditulis muridnya yang dijadikan pegangan pengikut Mazhab Hanafi.Ulama Mazhab Hanafi membagi kitab-kitab itu menjadi tiga tingkatan.

a.    Tingkat masa’il Al-Ushul (masalah-masalah pokok) yaitu kitab yang berisi masalah-masalah yang langsung diriwayatkan dari Imam Hanafi dan sahabat sahabatnya disebut juga zahir Al-Riwayah yang terdiri dari enam kitab :

1) Kitab Al-Mabsud (buku yang terbentang).

2) Kitab Al-jami’ As-Saghir (Himpunan Riwayat).

3) Kitab Al-Jami’ Al-Kabir (Himpunan Lengkap).

4) Kitab As-Sair Al-Kabir (Sejarah Lengkap).

5) Kitab Az-Ziyyadah (Tambahan)

Pada awal ke-4 Hijriah ke enam buku ini dihimpun dan disusun menjadi satu oleh Imam Abdul Fadl Muhammad ibn Ahmad al-Marazi dengan nama “Al-Kafi’ (yang memadai) yang kemudian diberi penjelsan oleh Imam Muhammad ibn Muhammad ibn Sahal as-Sarkhasi dengan nama “Al-Mabsuth” (yang menuai).

b.      Tingkat Al-Masa’il An-Nawazir (masalah tentang sesuatu yang diberikan sebagai nazar) yaitu kitab yang berisi masalah-masalah fiqh yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya dalam kitab selain zahir ar-riwayah.

c.       Tingkat al-Fatawa wa al-Waqi’at (fatwa-fatwa dalam permasalahan)yaitu kitab-kitab yang berisi masalah-masalah fiqh yang berasal dari istinbath (pengambilan hukum dan penetapannya)

4.      Metode Istimbath Hukum

Dalam mengistinbathkan hukum Imam Abu Hanifah dalam suatu permasalahan menggunakan beberapa cara yang menjadi dasar dalam mazhabnya. Adapun metode yang digunakan sebagaimana di kutip Hasbiy Ash-Siddieqy adalah Sesungguhnya saya mengambil kitabullah apabila saya dapatkan, apabila tidak saya dapatkan maka saya mengambil sunnah Rasullah SAW. Dan atsar-atsar yang sholeh yang tersiar di kalangan orang-orang yang terpercaya.Apabila saya tidak mendapatkan dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah maka saya mengambil pendapat-pendapat para sahabat beliau yang saya kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim, Asy-Sya’bi, Hassan, Ibnu Sirrin, Said ibn Musayyad (beberapa boring yang berijtihad ) maka saya berijtihad sebagaimana mereka berijtihad).

Abu Hanifah memegangi riwayat orang-orang yang kepercayaan dan menjauhkan diri dari keburukan dan memperhatikan muamalat manusia dan adat serta ‘urf mereka itu, beliau memegangi Qiyas. Kalau tidak baik dalam suatu masalah didasarkan qiyas, beliau memegangi istihsan selama yang demikian itu dapat dilakukan, kalau tidak beliau berpegang kepada adat dan ‘urf . Berdasarkan keterangan diatas metode istimbath hukum Imam Abu Hanifah didasarkan tujuh hal pokok yaitu:

a.       Al Quran, merupakan pilar utama syariat dan sumber dari segala sumber hukum. b. Sunnah, Imam Abu Hanifah sangat selektif dalam penerimaan hadis, dia hanya berpegang kepada keabsahan riwayat. Pada prinsipnya Abu Hanifah tidak menerima hadis Rasulullah SAW, kecuali jika diriwayatkan oleh sekelompok orang yang kolektif, atau para ahli fiqh sepakat mengamalkan.

b.      Sunnah, Imam Abu Hanifah sangat selektif dalam penerimaan hadis, dia hanya berpegang kepada keabsahan riwayat. Pada prinsipnya Abu Hanifah tidak menerima hadis Rasulullah SAW, kecuali jika diriwayatkan oleh sekelompok orang yang kolektif, atau para ahli fiqh sepakat mengamalkan

c.        Perkataan Sahabat Perkataan sahabat memperoleh posisi kuat dalam pandangan imam Abu Hanifah, karena menurutnya mereka adalah orang yang langsung membawa ajaran Rasulullah SAW sesudah beliau wafat, pengetahuan dan pernyataan keagamaan mereka lebih dekat kepada kebenaran, karena meraka tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat al Quran serta bagaimana kaitannya dengan hadis-hadis Rasulullah SAW.

d.       Qiyas

Karena Imam Abu Hanifah sangat selektif dalam penerimaan hadis, maka konsekunsinya logisnya sangat luas dalam pemakaian qiyas. Apabila suatu persoalan belum ada ketentuan hukumnya dalam al Quran dan sunnah dan perkataan sahabat, maka imam Abu Hanifah menggunakan qiyas sebagai salah satu metode penetapan hukum.

e.       Istihsan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kehujjahan istihsan merupakan dalil syara’. Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik suatu, sedangkan menurut istilah ulama’ usul ialah berpindahnya seorang mujahid dari tuntutan qiyas jail (qiyas nyata) kepada qiyas khafi (qiyas samar) atau dari hukum kulli kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan baginya pemindahan ini.

f.       Urf iatu adat kebiasaan orang-orang Islam dalam suatu masalah tertentu yang tidak disebutkan oleh al quran, sunnah Nabi atau belum ada dalam praktek sahabat.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar