C. Tokoh-Tokoh Pembaharuan dalam Pemikiran Islam di Indonesia
Sejarah Islam memang penuh dinamika pasang dan surut. Masa
kejayaan Islam mulai redup bahkan sirna dan mengalami masa kemunduran, terutama
pasca kejatuhan kekuasaan Islam di Spanyol tahun 1213M dan Baghdad tahun 1258M.
Namun sejarah memang tidak bersifat lurus. Ditengah keajtuhan Islam itu muncul
spirit baru untuk bangkit kembali. Di era itulah muncul pemikir dan gerakan
kebangkitan (pembaharuan) Islam di Jazirah Arab, Mesir, India, Pakistan hingga
meluas ke Indonesia. Faktor-Faktor yang mempengaruhi pemikiran keislaman di
Indonesia pada abad 21 terdiri dari factor internal dan eksternal.
Gerakan pembaharuan pemikiran secara perorangan dan
signifikan baru dimulai pada pertengahan kedua dari abad ke-20. Tokoh-tokoh
pembaharu (pemikir) Islam di Indonesia diantaranya adalah:
1. Syekh Abdullah Ahmad
Dr. H. Abdoellah Ahmad (lahir di
Padang Panjang, 1878 – meninggal di Kampung Jati, Padang, 2 November 1933 pada umur
55 tahun). Ia merupakan anak dari Haji Ahmad, ulama Minangkabau yang juga
seorang pedagang, dan seorang ibu yang berasal dari Bengkulu. Bersama Abdul
Karim Amrullah, ia menjadi orang Indonesia terawal yang memperoleh gelar doktor
kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir.
Abdullah menyelesaikan pendidikan
dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah dan sedari kecil memperoleh pendidikan
agama dari ayahnya. Pada tahun 1895, Abdullah Ahmad pergi ke Mekkah dan kembali
ke Indonesia pada tahun 1899. Sekembalinya dari Mekkah, ia segera mengajar di
Padang Panjang sembari memberantas bid'ah dan tarekat. Ia tertarik pula untuk
menyebarkan pemikiran pembaruan melalui publikasi dengan menjadi agen dari
berbagai majalah pembaruan, seperti Al-Imam di Singapura dan Al-Ittihad dari
Kairo.
Pada tahun 1906, Abdullah Ahmad
pindah ke Padang untuk menjadi guru, menggantikan pamannya, Syekh Gapuak yang
meninggal dunia. Di Padang, ia mengadakan tablig dan pertemuan tentang masalah
agama dan mendirikan jemaah Adabiyah beberapa tahun kemudian. Di samping itu,
ia memberikan pengajian pada orang dewasa. Pengajiannya dilakukan dua kali
seminggu secara bergantian dari rumah ke rumah.
Tidak diperolehnya pendidikan yang
sistematis oleh semua anak-anak pedagang di Padang, menginspirasi Abdullah
Ahmad membuka sekolah Adabiyah pada tahun 1909. Abdullah Ahmad sangat aktif
menulis, bahkan ia menjadi ketua persatuan wartawan di Padang pada tahun 1914.
Ia mempunyai hubungan yang erat dengan pelajar-pelajar sekolah menengah di Padang
dan sekolah dokter di Jakarta, serta memberikan bantuan dalam kegiatan Jong
Sumatranen Bond. Pengetahuannya tentang agama sangat mendalam dan diakui oleh
ulama-ulama Timur Tengah pada konferensi khilafat di Kairo tahun 1926.
Pengakuan itu dibuktikan dengan pemberian gelar kehormatan dalam bidang agama
sebagai doktor fid-din.
2. Syekh Jamil
Jambek
Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih
dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek, dilahirkan dari keluarga
bangsawan. Ayahnya, Saleh Datuak Maleka, merupakan seorang penghulu dan kepala
nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Masa kecilnya tidak banyak diketahui.
Namun, yang jelas Syekh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di
Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru.
Kemudian, dia dibawa ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun untuk menimba
ilmu.
Keahliannya di bidang ilmu falak
mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah
suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut
ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek
(pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri
perguruan Thawalib Padang Japang, Lima Puluh Kota|) yang kemudian berganti nama
menjadi Darul Funun El Abbasyiah.
Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah
air. Ia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat;
mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji. Di antara murid-muridnya
adalah Bung Hatta. Dalam memorinya, Hatta menceritakan bahwa dirinya belajar di
Surau milik Syekh Muhammad Jambek yang berada sekitar setengah meter dari
rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar