Selasa, 16 Februari 2021

MATERI: TARIKH (7)


C. Tokoh-Tokoh Pembaharuan dalam Pemikiran Islam di Indonesia

Sejarah Islam memang penuh dinamika pasang dan surut. Masa kejayaan Islam mulai redup bahkan sirna dan mengalami masa kemunduran, terutama pasca kejatuhan kekuasaan Islam di Spanyol tahun 1213M dan Baghdad tahun 1258M. Namun sejarah memang tidak bersifat lurus. Ditengah keajtuhan Islam itu muncul spirit baru untuk bangkit kembali. Di era itulah muncul pemikir dan gerakan kebangkitan (pembaharuan) Islam di Jazirah Arab, Mesir, India, Pakistan hingga meluas ke Indonesia. Faktor-Faktor yang mempengaruhi pemikiran keislaman di Indonesia pada abad 21 terdiri dari factor internal dan eksternal.

Gerakan pembaharuan pemikiran secara perorangan dan signifikan baru dimulai pada pertengahan kedua dari abad ke-20. Tokoh-tokoh pembaharu (pemikir) Islam di Indonesia diantaranya adalah:

1.     Syekh Abdullah Ahmad

Dr. H. Abdoellah Ahmad (lahir di Padang Panjang, 1878 – meninggal di Kampung Jati, Padang, 2 November 1933 pada umur 55 tahun). Ia merupakan anak dari Haji Ahmad, ulama Minangkabau yang juga seorang pedagang, dan seorang ibu yang berasal dari Bengkulu. Bersama Abdul Karim Amrullah, ia menjadi orang Indonesia terawal yang memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir.

Abdullah menyelesaikan pendidikan dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah dan sedari kecil memperoleh pendidikan agama dari ayahnya. Pada tahun 1895, Abdullah Ahmad pergi ke Mekkah dan kembali ke Indonesia pada tahun 1899. Sekembalinya dari Mekkah, ia segera mengajar di Padang Panjang sembari memberantas bid'ah dan tarekat. Ia tertarik pula untuk menyebarkan pemikiran pembaruan melalui publikasi dengan menjadi agen dari berbagai majalah pembaruan, seperti Al-Imam di Singapura dan Al-Ittihad dari Kairo.

Pada tahun 1906, Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk menjadi guru, menggantikan pamannya, Syekh Gapuak yang meninggal dunia. Di Padang, ia mengadakan tablig dan pertemuan tentang masalah agama dan mendirikan jemaah Adabiyah beberapa tahun kemudian. Di samping itu, ia memberikan pengajian pada orang dewasa. Pengajiannya dilakukan dua kali seminggu secara bergantian dari rumah ke rumah.

Tidak diperolehnya pendidikan yang sistematis oleh semua anak-anak pedagang di Padang, menginspirasi Abdullah Ahmad membuka sekolah Adabiyah pada tahun 1909. Abdullah Ahmad sangat aktif menulis, bahkan ia menjadi ketua persatuan wartawan di Padang pada tahun 1914. Ia mempunyai hubungan yang erat dengan pelajar-pelajar sekolah menengah di Padang dan sekolah dokter di Jakarta, serta memberikan bantuan dalam kegiatan Jong Sumatranen Bond. Pengetahuannya tentang agama sangat mendalam dan diakui oleh ulama-ulama Timur Tengah pada konferensi khilafat di Kairo tahun 1926. Pengakuan itu dibuktikan dengan pemberian gelar kehormatan dalam bidang agama sebagai doktor fid-din.

2.      Syekh  Jamil Jambek

Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Saleh Datuak Maleka, merupakan seorang penghulu dan kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.

Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Namun, yang jelas Syekh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Kemudian, dia dibawa ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun untuk menimba ilmu.

Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Thawalib Padang Japang, Lima Puluh Kota|) yang kemudian berganti nama menjadi Darul Funun El Abbasyiah.

Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Ia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji. Di antara murid-muridnya adalah Bung Hatta. Dalam memorinya, Hatta menceritakan bahwa dirinya belajar di Surau milik Syekh Muhammad Jambek yang berada sekitar setengah meter dari rumahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar